Senin, 20 Mei 2013

TEORI KONSTRUKTIVISIME




PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISIME



BAB I

PENDAHULUAN

Konstruktivisime adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja,melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut.Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator,  yang menyediakan stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika peserta didik, mengalami kesulitan belajar, ataupun menyediakan media dan materi pembelajaran agar peserta didik itu merasa termotivasi, tertarik untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan ahirnya peserta didik tersebut mampu mengkontruksi sendiri pengetahuaanya.



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISIME
Menurut paham konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak dipindahkan dari guru kepadamurid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membina sesuatu pengetahuan mengikutipengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Murid tidak akan berpikir untuk menghadapi realita yang berwujud asing disekitarnya. Realita yang diketahui murid adalah realita yang dibina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan sekitar mereka.Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang suatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.

1. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”. Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.
Pada prinsip Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme merupakan  suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.  Dalam Konstruktivisme  memandang bahwa landasan berfikir (filosofi) merupakan bentuk pembelajaran konstektual dimana pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
2. Ciri-ciri Konstruktivisme
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. Selain itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
3. Aplikasi dan Implikasi dalam Pembelajaran
a. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
b.Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya
c. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
d. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
f. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
g. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
4. Kelebihan dan Kekurangan Konstruktivisme
a. Kelebihan
Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan. Faham kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi. Selian itu murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya; Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap; Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
b.Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung; siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
1.1               Tipe-tipe Konstruktivisme

Kini banyak pendidik menggunakan istilah “konstruktivisme” (constructivism”) dan tidak selalu dalam cara yang sama. Umumnya, konstruktivisme mengasumsikan bahwa orang mengembangkan dan mengonstruk pengetahuan dari pada menginternalisasikannya dari lingkungan eksternal, tetapi ada berbagai pendekatan berbeda terhadap konstruktivisme. Di sini mengikuti kategori Moshman (1987, 1997) untuk membantu mengorganisasikan tiga pendekatan berbeda, yang dikenal sebagai konstruktivisme rasional, radikal, dan dialektis (rational, radical, and dialectical constructivism).

1.      Konstruktivisme Rasional
Konstruktivisme rasional menekankan cara individu rekonstruk realitas secara eksternal. Konstruktivisme rasional membangun representasi mental akurat menggunakan skema dan aturan kondisi-tindakan. Sehingga belajar adalah membangun struktur mental akurat yang merefleksikan “sesuatu cara secara real” dalam dunia eksternal. Banyak aspek pemrosesan informasi konsisten dengan telaah konstruktivisme ini; kenyataannya, beberapa sarjana memperlakukan jenis konstruktivisme ini sebagai bagian dari suatu perspektif kognitif, misalnya, suatu telaah kognitif/rasional (Greeno, Collins, dan Resnick, 1996). Telaah konstruktivisme ini mengakui superioritas dari beberapa mengerti atas yang lain; akibatnya, mengajar langsung, umpan-balik dan penjelasan nampaknya sebagai 2
cara tepat untuk mempengaruhi belajar. Pengetahuan diperoleh dengan mengtransformasikan, mengorganisasikan, dan mengorganisasikan kembali pengetahuan sebelumnya. Teori Piaget sangat khas dari bentuk konstruktivisme ini. Beliau mengusulkan suatu urutan (sequence) universal dari tahap perkembangan, masing-masing meliputi bentuk kognisi yang lebih rumit dan fungsional daripada ini pada tahap sebelumnya (Miller, 1993). Konsern khusus Piaget adalah dengan logika dan pengetahuan yang diperlukan seperti mengerti bahwa himpunan atau kelas harus memiliki paling sedikit sebanyak anggota setiap himpunan bagiannya (Smith, 1993). Misalnya, kita tidak dapat menentukan apakah ada wanita atau pria lagi dalam suatu sekolah yang diberikan tanpa fakta-fakta empiris tentang banyaknya relatif mereka, tetapi kita dapat yakin bahwa ada paling sedikit sebanyak manusia di setiap sekolah ada wanita, tanpa setiap fakta-fakta empiris. Pengetahuan tentang relasi kelas dengan kelas bagiannya, Piaget membantah bahwa pengetahuan itu tidak bergantung pada pengetahuan tentang suatu lingkungan khusus dan tidak dapat dipelajari dari lingkungan ini. Berbeda, pengetahuan tentang sifat bawaan sangat penting dalam klasifikasi perilaku kita dan dikonstruk melalui koordinasi dan refleksi pada perilaku-perilaku ini. Singkatnya, konstruktivisme rasional memperlihatkan konstruksi sebagai suatu proses rasional yang menyebabkan hasil yang dijamin secara meningkat


2.      Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal memelihara pengetahuan bukan merupakan suatu cermin dari dunia eksternal meskipun kenyataannya pengalaman mempengaruhi berpikir dan berpikir mempengaruhi pengetahuan. Pengetahuan dikonstruk secara luas oleh interaksi antar personal dan pembatas kultur dan ideologi. Tidak ada basis untuk mengevaluasi atau menginterpretasi setiap keyakinan seperti setiap yang baik atau yang lebih jelek daripada setiap yang lainnya. Konstruktivisme radikal membantah bahwa pemrosesan informasi merupakan konstruktivisme trivial karena tidak mengambil idea konstruksi pengetahuan yang cukup jauh (Derry, 1992; Garrison, 1995). Konstruktivisme radikal menjadi populer baru-baru ini dengan munculnya gagasan post-modern dan kritik dalam pendidikan Amerika; kenyataannya, ini disebut suatu spesis post-modernisme (Moshman, 1997). Situasi ini terutama menyulitkan bagi siapa yang konsern tentang perkembangan dan pendidikan. Bagaimana memperoleh pengetahuan terkonstruk secara bermakna sehingga suatu proses pekembangan kalaupun ada merupakan suatu kemajuan dalam mengerti atau penalaran? Bagaimana upaya mendapatkan siswa untuk konstruk pengetahuan yang dibenarkan kalaupun ada merupakan suatu alasan dengan keyakinan bahwa pengetahuan terkonstruk merupakan suatu perbaikan dalam mengerti mereka? (Moshman, 1997). Kita sepakat dengan sarjana ini dan peneliti (Chandler, 1997; Moshman, 1997; Phillips, 1997) yang kritis dari perspektif ini. Bagaimanapun juga, jika semua idea dan keyakinan sama baik, maka mengapa menghalangi---kita dapat seperti siswa yang baik meyakini apa saja yang mereka menginginkan untuk meyakini. 3




B. TOKOH-TOKOH DALAM TEORI KONTRUKTIVISME
1.      Jean Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1)      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2)      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3)      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara  personal,
4)      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
5)      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
a.       perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
b.      tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
c.       gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
    
2.      Vygotsky
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid. Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka sendiri tentang hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kepahaman dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kepahaman atau kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka mungkin memberi jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru.


2.      Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung. Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.      Proses belajar kontruktivistik secara konseptual adalah proses belajar yang bukanmerupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segiprosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.      Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.      Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
4.      Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.      Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
ujian tidak sebenarnya menguji kepahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk membekalkan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal.
Menurut teori konstruktivisme, penilaian harus meliputi cara menyelesaikan masalah.Pandangan ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin murid dengan sempurna. Murid diterima sebagai individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai pengawal disiplin kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan.Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kepahaman orang lain supaya kepahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
C. HAKIKAT PEMBELAJARAN MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
1.      Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2.      Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.
3.      Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.        
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme.
1.      Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
2.      Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
1. siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2. pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. strategi siswa lebih bernilai,
 4. siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
 (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.


BAB III

KESIMPULAN

Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBERHASILAN USAHA DAN KEGAGALAN USAHA

Tugas : DISUSUN O L E H ...